Oleh Tia Ghose
Ketika Paus Yohanes Paulus II meninggal delapan
tahun silam, para pendukungnya berteriak “Santo subito!” atau “Berikan
gelar santo sekarang!”
Akhirnya keinginan para pendukung Paus
Yohanes Paulus II berhasil terwujud. Vatikan baru-baru ini membenarkan
bahwa Paus Yohanes Paulus II melakukan dua mukjizat. Sekarang tinggal
menunggu upacara kanonisasi (proses menjadikan seseorang sebagai santo)
resmi, yang sampai saat ini belum dijadwalkan. Proses pengesahan
mukjizat di Gereja Katolik sudah berlangsung selama berabad-abad dan
melibatkan penyelidikan oleh pakar ilmu pengetahuan.
Meski agak
aneh bagi orang luar, pengesahan mukjizat yang pernah terjadi bisa
memperkuat keyakinan orang-orang, ujar Michael O’Neill, yang menjalankan
situs MiracleHunter.com.
“Bahkan orang-orang yang percaya Tuhan
tertarik untuk membuktikan keberadaan-Nya. Terkadang sepertinya Tuhan
bersembunyi,” ucap O’Neill. “Mukjizat adalah sebuah cara membuktikan
kepada orang-orang bahwa Tuhan menjamah dunia.”
Perjalanan panjang mendapatkan gelar santoDalam
agama Katolik, santo adalah orang-orang yang berada di surga bersama
Tuhan. Meskipun mungkin ada banyak orang di surga dan secara teknis
merupakan santo, mereka yang dianggap sebagai santo gereja yang
sesungguhnya adalah orang-orang yang diketahui gereja Katolik berada di
surga. Selain itu, orang juga bisa berdoa kepada santo tersebut yang
terkadang menjadi perantara Tuhan.
Namun, menentukan siapa yang masuk ke surga adalah persoalan yang pelik.
Begitulah
mengapa mujizat diperlukan. Menurut gereja, mukjizat atau kejadian
ilahi yang tidak memiliki penjelasan alami atau ilmiah, merupakan bukti
bahwa orang tersebut berada di surga dan bisa menjadi perantara Tuhan
untuk mengubah penyebab beberapa peristiwa.
Gereja Katolik
menggunakan proses resmi untuk menentukan santo atau santa.
Pertama-tama, kehidupan orang tersebut ditelusuri secara menyeluruh.
Jika dianggap cukup saleh, orang tersebut dianggap sebagai hamba Tuhan.
Jika mereka menunjukkan tingkat kebajikan heroik dalam hidup mereka,
mereka dianggap sebagai orang mulia. Namun, untuk menjadi santo, mereka
harus melakukan dua mukjizat setelah mereka wafat.
Komisi MukjizatMenjelang
akhir proses pemberian gelar santo, Komisi Mukjizat yang ditunjuk
Vatikan menyaring ratusan bahkan ribuan pernyataan mukjizat. Biasanya,
komisi tersebut terdiri dari teolog dan pakar ilmu pengetahuan.
Hampir
semua atau “99,9 persen dari pernyataan tersebut adalah mukjizat
kesembuhan,” ungkap O’Neill. “Mukjizat tersebut haruslah penyembuhan
yang tiba-tiba, seketika, dan pulih sepenuhnya. Dokter harus mengatakan,
‘Kami tidak memiliki penjelasan ilmiah tentang apa yang terjadi,’” ujar
O’Neill.
Seorang perempuan yang sembuh dari kanker payudara
tidak masuk hitungan, misalnya, jika ia memiliki kesempatan bertahan
hidup sebesar 10 persen — ia harus pernah divonis tidak memiliki
kesempatan sembuh sama sekali sebelum campur tangan ilahi terjadi, ujar
Rev. Stephan Bevans, profesor teologi di Catholic Theological Union.
Pada
2010, mantan Paus Benediktus XVI menegaskan bahwa Yohanes Paulus II
secara ajaib menyembuhkan seorang biarawati Prancis yang menderita
penyakit Parkinson. Gereja baru-baru ini mengonfirmasi mukjizat kedua,
ketika cedera otak yang dialami seorang perempuan asal Kosta Rika
tiba-tiba sembuh setelah berdoa kepada Yohanes Paulus II.
Mukjizat
dianggap sah jika orang tersebut hanya berdoa kepada satu orang,
misalnya Yohanes Paulus II, saat mereka mengalami penderitaan. Dengan
begitu, tidak akan ada percampuran ketika ingin menentukan orang di
surga manakah yang sudah menjadi perantara mereka, ujar O’Neill.
Tradisi baruProses
mempertimbangkan mukjizat untuk menetapkan santo memiliki sejarah yang
relatif singkat di Gereja Katolik. Sebelum 1531, ketika seorang petani
asal Spanyol dilaporkan melihat gambar Perawan Maria di lereng di
sekitar Mexico City, mukjizat tidak diperlukan dan pemberian gelar santo
sebagian besar ditentukan lewat tradisi atau kemartiran, kata O’Neill
kepada LiveScience.
Peraturan terkait mukjizat dan pemberian
gelar santo berubah selama masa jabatan Yohanes Paulus II. Ia mengurangi
jumlah mukjizat yang diperlukan menjadi dua, dari sebelumnya tiga.
Dan
seperti yang sudah berulang kali dijelaskan ilmu pengetahuan selama
bertahun-tahun, banyak hal yang dianggap mukjizat pada masa lalu tidak
lagi dipandang seperti itu, ungkap Bevans.
Meskipun demikian,
mukjizat secara teknis masih dibutuhkan, “Menurut saya mukjizat sudah
tidak begitu penting” sebagai kriteria untuk pemberian gelar santo, kata
Bevans kepada LiveScience. “Seharusnya kekudusan hidup orang
tersebutlah yang diperhitungkan.”
Kekudusan mungkin merupakan nilai utama dari para santo, ucap Bevans.
Yohanes
Paulus II, contohnya, telah “melakukan keajaiban, begitulah yang
dikatakan, namun orang-orang juga menemukan inspirasi luar biasa dari
pribadinya. Kekudusannya begitu jelas,” kata Bevans.
No comments:
Post a Comment