100
% Katolik 100 % Indonesia”
Ungkapan yang akhir-akhir ini kembali nyaring bergaung dikalangan masyarakat Katolik Indonesia. Entah itu karena efek kemunculan film “Soegija” atau memang dari gerakan umat Katolik yang ingin mengaplikasikan ungkapan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari.
Tapi mari kita kesampingkan saja efek penyebab atau pemicu munculnya kembali ungkapan tersebut. Dan baiknya kita mengenal terlebih dahulu siapa sih orang yang pertama kali mengemukakan kata-kata seperti tersebut. Dan dialah mendiang Uskup Agung Semarang Mgr. Soegijapramata. Beliau yang lahir di Surakarta pada tanggal 25 November 1896. Sebagai anak kelima dari sembilan bersaudara ini, ditahbiskan menjadi romo pada tanggal 15 Agustus 1931 dan diangkat menjadi uskup pada tanggal 30 September 1940.
Beliau menjadi uskup dengan memikul beban yang berat, karena saat
beliau diangkat menjadi uskup saat itu dalam situasi perang. Memang
saat itu perang belum melanda asia, tetapi dampak-dampaknya sudah
mulai terasa sampai Indonesia. Beliau menerima tugas yang diberikan
tersebut tanpa keluhan sama sekali dan beliau menjalankan tugas
perutusan tersebut dengan sepenuh hati.
Teladan tersebut perlu dicontoh oleh masyarakat di masa sekarang.
Bagaimana menerima tugas yang diberikan kepada kita dengan rasa
ikhlas dan tanpa mengeluh. Karena semakin kemari, masyarakat semakin
mengarah ke masyarakat yang bersifat non-ikhlas dalam berbagai
bidang kehidupan dan bernegara, dan selalu mengeluh serta melakukan
protes dengan beban yang ditanggung walaupun beban tersebut sangat
ringan.
Mgr. Soegija dalam kehidupan yang dijalani saat itu mengungkapan
kata-kata seperti yang tertulis di atas, yaitu “100% Katolik 100%
Indonesia”. Tersirat bagaimana beliau ingin menempatkan diri dan
juga mengajak orang-orang untuk totalitas kepada agamanya terkhusus
agama Katolik & totalitas juga terhadap bangsa dan negaranya. Hal
tersebut memang saat-saat ini sudah mulai hilang dalam masyarakat
Indonesia di jaman sekarang. Masyarakat yang mulai apatis dengan
negaranya sendiri, dan juga sudah meninggalkan nilai-nilai imannya
terhadap Tuhan.
Semangat yang tersimpan dalam ungkapan beliau tersebut memberi pesan
yang mendalam tersendiri kepada kita, masyarakat Indonesia di jaman
sekarang khususnya masyarakat Katolik. Kita harus menimba dan
mencontoh semangat dan sikap yang dimiliki oleh Mgr. Soegijapranata
dalam dia bernegara dan beriman. Sikap ini pulalah
yang mendasari perjuangan beliau untuk turut memperjuangan
kemerdekaan bangsa Indonesia melalui pemikiran-pemikiran serta
karya-karya beliau di tengah umat Katolik Jawa.
Apa artinya sebagai bangsa merdeka, jika gagal
mendidik diri sendiri? Itu yang sepertinya akan ditanyakan oleh
beliau kepada kita. Dengan sifat dan kelakuan yang kurang santun dan
berjalan tanpa iman sama sekali di jaman ssekarang. Apa artinya juga
kita merdeka kalau kita tidak mempunyai rasa nasionalisme?
Rasa-rasanya kita perlu banyak mencontoh beliau dalam hal
nasionalisme yang sejati.
Nasionalisme yang sejati adalah menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang di dalam Kristianitas,
nilai-nilai itu menjadi wujud panggilan. Itulah inti keutamaan hidup
yang terus bergema dalam diri Mgr. Soegijapranata. Inti
hidup dan kebenaran yang telah menjadi cita-cita pengembaraannya
sejak belia. Dengan demikian, menjadi nasionalis adalah wujud
panggilan Kristiani. Setiap individu Katolik harus memiliki itu dalam
hati mereka yang akan mendasari pengabdian kepada bangsa dan negara
kita Indonesia.
Timotius Arga Radiansa, 20 Agustus 2013 (Semarang)
No comments:
Post a Comment