Labels

Temukan Artikel Yg anda cari di sini

Wednesday, 14 November 2012

Penjelajah Waktu


K
ami adalah penjelajah waktu. Aku dan Seth. Kami senang mengutak-atik jam tua milik George, kakek Seth. Dia sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Dan jam ajaib itu ia wariskan pada cucu lelaki satu-satunya, Seth O’Bryan.
            Lima tahun yang lalu, Seth memberitahuku sebuah rahasia besar. Dia bilang, dia mendapat sebuah arloji kuno dari kakeknya. Bukan arloji tua biasa, melainkan penuh dengan keajaiban.
            ”Apa hebatnya?” tanyaku tak mengerti.
            ”Ayolah, kau ini bodoh atau apa? Arloji ini bisa membawa kita ke masa lampau. Dan triiing… Kita akan berada beberapa tahun yang lalu. Atau bahkan beratus tahun yang sudah lewat.”
            Seth tersenyum. Jelas sekali bahwa ia percaya pada kehebatan jam kuno itu. Kami sudah berusia dua belas tahun, dan dia masih percaya pada dongeng anak kecil.
            ”Kau tak percaya. Iya, kan?” senyum Seth menghilang.
            ”Seth, dengar. Kita sudah hampir dewasa, tolong jangan…”
            ”Kau yang harus mendengarkanku!” Seth berteriak marah.
            Aku terdiam. Kedua mataku melotot. Berani sekali dia membentakku!
            ”Maaf, tapi ini sama sekali bukan omong kosong. Akan kubuktikan bahwa perkataanku benar. Kita akan kembali ke… Tunggu sebentar!”
            Seth mengutak-atik arloji tua itu. Sesekali dahinya mengerut, tanda ia sedang berpikir keras.
            ”Nah, sudah. Sekarang, pegang tanganku!” perintahnya.
            Aku menggenggam tangannya. Kemudian, ia menekan tombol kecil yang terletak di pinggir arloji tua itu.
Tiba-tiba segalanya terasa berputar. Kami melayang-layang di dalam pusaran berbentuk pipa. Di sekeliling kami, foto-foto hitam putih tampak bertebaran. Mulutku menganga takjub.
Bruk!  
Seth membantuku berdiri. Pantatku terasa sakit sekali.
”Yah, mungkin kau harus belajar menyeimbangkan diri setelah meloncat dari pusaran tadi. Saat pertama kalinya ke sini, aku malah tercebur ke situ,” katanya sambil menunjuk selokan di depan kami.
Aku meringis. Lebih karena kesakitan ketimbang merespon kisahnya yang tragis. Sedetik kemudian, mataku sudah jelalatan ke sana ke mari. Kami berada di pinggir hutan. Tepat di seberang hutan, sebuah lapangan berumput tampak hijau kekuning-kuningan. Di atas lapangan berumput tadi, berdiri puluhan tenda dengan anak-anak berseragam pramuka.
Mataku membulat, ”Perkemahan musim panas?”
Seth tersenyum misterius, ”Ya, dua tahun yang lalu.”
Aku mengangguk paham.
”Ayo!” Seth menarik pergelangan tanganku.
Kami berlari menyeberang jalan dan menyelinap di belakang tenda berwarna merah, biru, hijau, dan kuning itu.
”Bagaimana kalau mereka melihat kita?” tanyaku was-was.
”Tidak akan. Kau tenang saja,” ujarnya meyakinkanku.
Kamudian, kami berhenti di belakang sebuah tenda berwarna biru muda. Kalau aku tidak salah ingat, itu adalah tenda milik Seth.
”Kita mau ap…”
”Sssttt…” Seth membekap mulutku.
Kami membungkuk. Tidak lama kemudian, terdengar suara langkah kaki mendekati tenda di depan kami.
”Seth…”
Jantungku seperti berhenti berpacu. Aku mengenal pemilik suara itu. Tidak salah lagi, dia pasti Marry Ann. Mantan kekasih Seth.
”Aku… aku…” Seth menjawab tergagap. Seth di depan sana, bukan Seth yang membekapku.
”Seth, maafkan aku.”
Kemudian, mereka berpelukan.
Aku memejamkan mata. Sesuatu menghantam dadaku kuat sekali. Rasanya perih. Perasaan cemburukah?
”Ann, tunggu! MARRY ANN!!!” teriak Seth putus asa.
Tapi Marry Ann terus berlari. Aku tahu gadis itu pasti terluka. Begitu pula Seth-ku. Tanpa sadar, aku memeluk Seth. Kusurukkan kepalaku di dadanya. Tangisku meledak.
”Hei, kau kenapa?” tanya Seth kebingungan.
Aku semakin memeluknya erat. Seth diam dan tak meneruskan pertanyaannya. Ia balas memelukku dan mengelus rambutku. Hei, bukankah seharusnya aku yang menghiburnya. Bukan sebaliknya?
”Ayo, kita kembali!” katanya beberapa menit kemudian.
Sejak saat itu, kami bermain-main dengan arloji kuno milik Seth. Kami kembali melihat berbagai macam kenangan bertahun-tahun yang lalu. Kami kembali mengunjungi George, menonton konser Elvis Presley dan The Beatles, bahkan melihat hebatnya Perang Dunia.
Sayangnya, kami tak bisa menyentuh George, Elvis, apalagi mencegah meledaknya Perang Dunia. Kami hanyalah penonton, bukan aktor yang terlibat dalam peristiwa itu. Kami hanya bisa melihat dan tak bisa berbuat apa-apa.
Tapi yang paling kusukai dari arloji kuno itu adalah bahwa aku bisa melihat adikku lagi. Mauren meninggal karena tenggelam saat umurnya baru menginjak lima tahun. Tepat dua minggu setelah kepergian kami ke perkemahan musim panas.
Aku selalu bertanya pada Seth, ”Bisakah kita mengubah masa lalu?”
Jawabannya membuatku kecewa, ”Aku tidak tahu.”
Melihatku murung, ia melanjutkan, ”Mungkin kalau kita memang bisa mengubah masa lalu, kita juga akan bisa mengubah masa depan.”
Aku sedikit terhibur dengan kata-katanya. Dan aku menyimpan kata-kata itu di hatiku sampai saat ini.
Suatu hari, aku mengusulkan pada Seth untuk mencoba menyelamatkan nyawa Mauren dengan ikut campur urusan masa lalu. Tapi Seth berpendapat bahwa ideku benar-benar gila. Dan bahkan bisa membahayakan nyawaku.
”Baiklah, aku akan melakukannya sendiri!” tukasku ketus.
”Kau hanya sedang bingung. Dengarkan aku, masa depan sudah ditakdirkan oleh Tuhan. Sedangkan jam tua itu hanya dapat digunakan untuk kembali ‘melihat’ masa lalu. Yah, seperti alat yang digunakan untuk memutar film.”
Aku megulang-ulang perkataannya. Seperti alat untuk memutar film. Aku memang sudah memutarnya ratusan kali. Melihat adikku tenggelam ratusan kali pula. Dan aku tak bisa menolongnya. Tidak seorang pun bisa menolongnya.
Hari ini aku berulang tahun ketujuh belas. Seth mengatakan padaku bahwa ia akan memberiku sebuah kejutan. Aku menunggunya sampai ia keluar dari kelas Mr. Trevor pukul satu siang. Aku penasaran, apa kejutan yang akan ia berikan padaku?
Teman-teman sekelas Seth sudah berhamburan keluar kelas. Tapi Seth sama sekali belum kelihatan batang hidungnya. Aku cemas, apa yang sedang terjadi pada dirinya? Jangan-jangan Mr. Trevor menahannya karena ia tidak mengerjakan tugas.
Dan tebakanku ternyata benar.
”Hai, Bee. Maaf, aku telat. Kau pasti sudah menungguku lama, ya?”
“Hmm,” jawabku kesal. Aku sampai hampir lumutan, Tuan Seth O’Bryan!
”Maaf sekali lagi, Bee. Mr. Trevor sebentar lagi akan mencabikku. Hanya karena aku lupa tidak mengerjakan tugas makalahnya. Kau bisa pulang dulu, aku akan menyusulmu nanti! Dah, Bee!” teriak Seth sambil berlari kembali ke kelas.
Sialan sekali kau, Seth! Aku merutuk kesal. Dan aku harus menunggu sampai sore hari hanya untuk mengetahui kejutan dari Seth. Sampai Seth yang agung mengetuk pintu rumahku.
”Apa yang mau kau berikan padaku?” tanyaku kesal.
”Yah, hanya sesuatu yang kupunya. Semoga Bee-ku yang manis menyukainya,” katanya sambil tersenyum seratus watt.
Seth mengangkat bahu saat aku tak merespon. Ia mengeluarkan tangannya dari balik punggung. Seikat mawar merah telah menutupi wajahnya. Di atas mahkota bunga-bunga mawar merah itu terselip dua tiket konser.
Aku menjerit senang, ”Tiket konser Owl City!”
Seth tersenyum, ”Kau senang?”
”Sangat! Ehm, terima kasih.”
”Sama-sama. Ayo kita berangkat!”
Kami pulang dengan perasaan bahagia. Wow, konsernya benar-benar menakjubkan!
Seth mengantarkanku sampai di depan rumah.
”Umm, aku masih punya sesuatu untukmu. Ini…” ia menyerahkan sebuah bungkusan kecil padaku.
”Apa ini?”
”Kau buka saja nanti, aku mau pulang. Bye, Bee… ” kata Seth sambil menguap lebar.
Aku menatap punggung Seth sampai menghilang di belokan jalan. Kututup pintu rumah sambil menimang-nimang bungkusan kecil dari Seth. Apa ini?
Kurebahkan tubuhku di atas tempat tidur. Aku membuka kertas pembungkusnya dengan perasaan berdebar-debar. Kemudian selanjutnya, arloji kuno itu sudah tergeletak di atas telapak tanganku. Aku memekik tanpa sadar.
Aku tidak bisa tidur sampai pukul tiga pagi. Arloji itu masih kubiarkan tergeletak di atas meja. Kuhampiri telepon kamarku. Kutekan beberapa nomor yang sudah kuhapal di luar kepala. Nada tunggu berdering di telingaku. Tidak ada yang mengangkat. Aku kembali meletakkan gagang telepon di tempatnya semula. Aku mencoba meneleponnya sekali lagi. Tetap tidak ada yang mengangkat.
Aku melirik jam beker di atas meja belajar. Pukul tiga lebih dua puluh menit.
Bodoh! Tentu saja tidak ada yang mengangkat teleponku. Seth pasti masih tertidur lelap.
Aku menarik napas panjang. Aku bisa berbicara padanya besok pagi di sekolah.
Esoknya, aku mencegatnya di koridor sebelum dia berhasil masuk ke kelas Bahasa Inggris.
”Apa maksudmu memberiku ini?” tanyaku. Arloji kuno itu kugoyang-goyangkan di depan wajahnya.
”Hanya sebagai hadiah untukmu.”
”Tapi… Ini milikmu yang paling berharga!”
Seth mengeleng-gelengkan kepala, ”Kau sok tahu sekali.”
”Aku tidak sok tahu!”
”Ya, kau selalu sok tahu! Padahal, kau tak tahu bahwa aku menyayangimu. Kau tak tahu bahwa aku mencintaimu. Sejak dulu, sampai saat ini. Kau cinta pertamaku dan akan selalu tetap begitu. Selamanya.”
Aku kehilangan kata-kata.
”Jadi, kau adalah milikku yang paling berharga.”
Aku mendongakkan kepala. Mataku panas sekali. Aku takut kalau sampai menangis di depan Seth. Hanya karena aku tahu bahwa perasaannya sama denganku.
”Kau cengeng sekali.”
Aku mendelik padanya.
Sepulangnya dari sekolah, aku mengajak Seth ke danau di dekat rumahku. Aku ingin kami bisa melihat kembali Mauren kecil. Kami kembali memutar jam. Berpegangan erat melewati pusaran penuh gambar dan terlontar ke danau itu lima tahun silam.
Kami bisa melihat Mauren kecil berlari-lari ke arah danau. Kaki-kakinya yang mungil menapak tanah dengan mantap. Lalu, dia semakin mendekat ke danau. Tangannya menggapai-gapai air dengan perasaan senang. Dan kemudian… kakinya terperosok ke dalam danau. Tubuhnya jatuh ke dalam air. Kepalanya timbul tenggelam di atas permukaan air.
Aku mulai menangis.
”Kita tidak bisa berbuat apa-apa,” ujar Seth sambil menggenggam erat tanganku.
”Tidak ada yang bisa menolongnya,” kataku parau.
Saat aku memeluk Seth, aku seperti mendengar suara orang-orang yang sedang berbicara. Mereka lumayan dekat. Aku melongok ke belakang bahu Seth dan menemukan sumber suara itu.
”Mereka bisa menolong Mauren!” teriakku.
Seth melepaskan pelukannya, ”Siapa?”
Aku menggigit bibir. Apa yang bisa kulakukan?
Aku terus berpikir.
Ah, ya! Aku mengambil batu kerikil dan melempari orang-orang itu. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Berhasil!
Salah satu dari orang-orang itu menengok ke arahku dan berteriak, ”Seseorang melemparkan kerikil padaku!”
Orang itu mengahampiri kami. Seth menatapku. Aku kembali menggigit bibir.
Dan orang itu melihat apa yang seharusnya dia lihat. ”Seseorang tenggelam!”
Orang-orang berbondong-bondong datang. Mereka melihat Mauren yang sudah mulai tak berdaya. Salah satu orang itu melompat ke dalam danau dan menolong Mauren.
”Mauren selamat! Mauren selamat!” teriakku sambil melepas tinju ke udara.
Kulihat Mom berlari dan memeluk Mauren.
”Sebaiknya kita kembali,” kata Seth.
Seth menarikku sebelum aku dapat mengeluarkan sepatah kata pun. Kami menuju pusaran penuh dengan foto hitam putih dan terlontar kembali ke tempat di dekat danau. Masa sekarang.
Seth dan aku saling berpandangan.
Kemudian kami berteriak bersamaan, Mauren!”
Kami berlari kencang ke arah rumah. Sebuah mobil van berwarna oranye baru saja meninggalkan garasi. Oh, tidak! Orang tuaku baru saja pergi.
Seth dan aku berhenti berlari. kemudian kami berjalan dengan lunglai.
Mereka sudah pergi,” Seth yang pertama kali berbicara.
Aku duduk di atas undakan tepat di depan pintu rumah. Seth menatapku iba. Aku tak menyadari seseorang membuka pintu di belakangku, sampai Seth berteriak.
Mauren?!”
Aku menoleh. Seorang gadis cilik menatap kami dengan heran. Rambut pirangnya diikat dengan pita berwarna merah. Dia mirip aku saat aku berumur sepuluh tahun. Matanya yang biru masih menatap kami heran.
Kau... Mauren?”
Aku berjalan mendekatinya. Tenggorokanku tercekat.
Tentu saja, kau pikir siapa aku?” gadis itu memutar bola matanya.
Aku tercekat. Kami sudah berhadapan satu sama lain. Tiga langkah lagi aku sudah bisa menyentuhnya. Aku takut, kalau ini tidak nyata. Hanya ilusi yang membohongiku. Tapi aku harus mencoba. Aku menyentuh rambutnya, hidungnya, pipinya yang bersemu merah muda.
Oh, Tuhan! Dia benar-benar nyata.
Aku memeluk Mauren erat. Dia meronta-ronta dalam pelukanku.
Apa-apaan kau ini!” teriaknya marah.
Aku bahagia, kau masih...” aku tak bisa melanjutkan kata-kataku.
Dia sudah berlari ke dalam rumah dan meraih telepon.
Mom, Bee sudah agak sinting! Dia menangis dan memelukku erat sampai aku kehabisan napas. Mom, kupikir dia mau membunuhku!”
Tenang, sayang. Mungkin kakakmu hanya merindukanmu,” terdengar jawaban dari seberang sana.
Mom berkata lagi. Mauren mendengarkan dengan sungguh-sungguh.
  Baiklah, Mom. Aku juga sayang padamu. Dah...” kemudian ia menutup teleponnya.
Aku dan Seth saling berpandangan. Kami tersenyum. Misi kami telah berhasil. Aku menatap arloji kuno dalam genggamanku.
Aku ingin melihat kenangan Mauren yang tak sempat kulihat selama lima tahun yang sudah lewat,” ujarku pada Seth.
Seth mengangguk setuju. Aku mulai memutar arloji itu.
Siap?”
Seth mengangguk lagi.
Kutekan tombol kecil pada pinggiran arloji itu seperti biasa. Kugenggam tangan Seth dengan tanganku yang lain.
Satu detik. Lima detik. Tak ada yang terjadi.
Kami saling bertatapan bingung.
Apa yang terjadi?” tanyaku.
Aku tak tahu,” jawab Seth seraya mengangkat bahu. Sama-sama tak mengerti.
Kami mencobanya sekali lagi. Tetap tak berhasil. Aku menggeleng putus asa.
Pasti ada yang salah,” kataku sambil mencobanya sekali lagi.
Tapi Seth menahan tanganku, Tidak akan berhasil. Jamnya sudah rusak.”
Kenapa?”
Aku menelan ludah. Mungkin arloji ini sudah tak berfungsi karena aku nekat mencampuri urusan masa lalu.
Aku menatap Seth menyesal, Maaf, aku sudah merusakkan arlojimu.”
Seth menggeleng-gelengkan kepalanya, Tidak, ini semua bukan salahmu. Toh, aku sudah memberikan arloji itu sebagai hadiah ulang tahun untukmu. Arloji itu sudah menjadi milikmu.”
Aku kembali menatap mata Seth, mencari kesungguhan di sana. Terima kasih. Aku berjanji untuk menyimpan rahasia besar kita.”
Seth tersenyum. Ini akan menjadi rahasia paling hebat milik kami. Hanya aku dan Seth. Kusimpan arloji itu di kamarku. Sesekali, aku melihatnya hanya untuk mengingat kenangan kami. Kami, aku dan Seth. Sang penjelajah waktu.



Cerpen ini kudedikasikan untuk Ibuku tercinta,
Ich liebe dich, Muttie.


sumber; http://cerpeniedhasoetrisno.blogspot.com

No comments:

Post a Comment